Saturday, December 1, 2012

Sekitar Kita

Terhening sesaat pada saat tadi melihat seorang laki-laki paruh baya  di hadapanku. Sekilas tak ada yang aneh dengan laki-laki ini. Badannya tidak begitu tinggi, kulitnya gelap. Tapi setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata tangan kirinya tidaklah utuh, hanya sebatas pergelangan tangan saja. Sisanya, telapak tangan dan jemarinya sangat kecil. Yah, dia cacat.

Ntah kenapa begitu melihat itu, pikiranku seperti buyar dan tiba2 berubah menjadi sedikit “peka”. Selang beberapa menit kemudian saya melihat seorang ibu2 berusia sekitar 40 tahun sedang berdiri di pinggir sebuah ruko. Kulit wajahnya gelap, seperti terbakar matahari. Sepertinya dia baru saja selesai beristirahat, dari wajahnya terlihat sangat lelah. Dia sedang memakai sebuah sarung tangan putih yang sedikit kotor. Di sebelahnya ada sebuah gerobak dan isinya penuh dengan botol plastik, kardus dan karung bekas. Sepertinya itu milik ibu itu.

Yang kulihat tadi mengingatkanku kejadian sekitar 2 tahun yang lalu. Pada saat hendak pulang kerja, aku melihat sebuah keluarga yang terdiri dari bapak,ibu dan 2 anaknya yang masih kecil sedang duduk di sebelah gerobak di sebuah trotoar jalan raya. Mereka sedang makan bersama dengan hanya sebungkus nasi. Hal yang sama juga kulihat di dekat kantor lamaku. Setiap kali lewat hendak makan, seringkali melihat bapak2 tua dengan rambutnya yang hampir memutih semua, panjang tak terawat, baju yang dekil tidur di pinggir trotoar.

Masih banyak sebenarnya yang seperti mereka. Anak2 kecil yang ngamen dan mengemis, orang2 yang tidur di bawah jembatan, anak2 kecil yang jualan koran panas2an di jalan raya dan lainnya.

Saya tidak kenal mereka, saya juga tidak tahu sisi lain kehidupan mereka. Saya hanya menyimpulkan dari pandanganku sekilas dari mereka. Apa yang hendak kukatakan di sini adalah saya beruntung, saya lebih beruntung, saya jauh lebih beruntung dari mereka.

Tidak perlu dibahas perkara membantu mereka atau tidak. Ada satu hal yang sering kulupakan. Rasa syukur. Seringkali menggerutu jika pekerjaan semakin sulit, pekerjaan tidak dihargai, padahal di luar sana masih banyak yang tidak bekerja. Marah jika kehidupan sepertinya tidak memihakku, padahal seharusnya masih banyak yang lebih pantas untuk marah karena kehidupan yang tidak adil. Dan perwujudan rasa tidak syukur lainnya. Bahkan membuang makananpun menurut umat yang beragama Buddha merupakan bentuk tidak bersyukur karena sebutir beras itu diperoleh dengan keringat dan kerja keras.

Lebih kejamnya lagi adalah terlintas pikiran seperti ini. Siapa yang bertanggungjawab atas kehidupan seperti itu? Jika mau kehidupan yang lebih baik yah harus berusaha untuk mencapainya. Saya juga berusaha agar kehidupan saya lebih baik. Kenapa saya seakan-akan di-judge sebagai orang yang bersalah jika tidak mengurusi mereka? Setiap orang bertanggungjawab atas kehidupannya sendiri. Pemikiran itu terlalu egois dan tidak manusiawi.

Menurutku rasa syukur itu sudah tidak pantas untuk disebut diperlukan, tapi diharuskan.

#Today I saw the first candle, three more and we are Christmas….

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.